Senin, 25 Juli 2011

OBSERVASI DESA PUSSUI INDUK


Tugas Kelompok
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Observasi Desa Pussui Induk
Kec. Luyo, Kab. Polewali mandar
OLEH :
Kelompok 1

Nurma Waddah
Herna Nengsi
Nini Eka Wati
Andi Arwini

Yayasan pendidikan bina generasi
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA GENERASI
PROGRAM STUDY D III KEBIDANAN
POLEWALI MANDAR
2010/2011

Tugas Observasi Desa
Praktek Aplikasi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa & Primary Health Care

Artikel  Kesehatan Desa Pussui Induk

            Di sinilah .. di Desa Pussui kami melakukan observasi Desa. Desa Pussui terdiri dari 8 dusun, yaitu : Dusun Pariangan, Dusun Pussanggera, Dusun Pattemarang, Dusun Maramba, Dusun Lambe Panda, Dusun Puttapi, & Dusun Lagusi. Desa yang terletak sekitar ± 20 km dari pusat kota wonomulyo ini. Dan berjarak sekitar ± 15 km dari Puskesmas Batupanga.
Hari pertama didesa ini, kami sempat tersenyum, menyaksikan bagaimana ilmu kesehatan masyarakat itu di aplikasikan oleh bidan yang bertugas disini,  kemitraan yang terjalin antara dukun dan bidan sangat baik, dimana dua dusun yang kami kaji, yaitu dusun pariangan dan dusun pusanggera pertolongan persalinannya dilakukan secara kolaborasi antara dukun dan bidan. Bahkan rumah antara dukun dan pustu berdekatan terlebih dengan ikut andilnya kepala desa pussui mengajak dukun tersebut yang biasa di panggil “kanne minna” oleh masyarakat desa tersebut untuk melakukan setiap pertolongan persalinan dengan bidan.
Di dua dusun yang termasuk sebagai tempat pemerintahan dan yang paling mudah di akses, disini sanitasi, & MCK nya sudah lumayan baik, karena dari hasil observasi yang kami lakukan sekitar 80% rumah penduduk didua dusun ini sudah mempunyai jamban serta sumber air bersih, yaitu sumur. Namun, mirisnya masih ada saja kandang ternak dibawah kolong rumah mereka.  Serta masih banyak anak-anak di desa ini yang sering bermain tanpa menggunakan alas kaki.
Dari hasil wawancara yang kami lakukan di dusun pussanggera dan dusun pariangan ini, rata-rata masyarakat mengeluhkan penyakit gastritis, diare dan gatal-gatal data ini di dukung dari hasil wawancara kami dengan bidan Hasnawati yang juga merupakan alumni pertama STIKes Bina Genersasi Polewali Mandar. Bidan hasnawati ini aktif menurut penuturan masyarakat yang kami observasi, beliau aktif melakukan kegiatan kemasyarakatan, contohnya imunisasi di  PUSTU yang dilakukan setiap tanggal 25 untuk dusun pariangan, dusun pussanggera, dusun puttapi dan dusun lagusi.  Dan setiap tanggal 15 untuk dusun pattemaran, meramba dan lambe panda, di 3 dusun ini, bidan biasanya harus berjalan kaki sejauh ± 2 km, bila jalanan tidak bisa di lewati oleh kendaraan roda dua. Bidan juga katif melalukan PUSKEL setiap 2 bulan sekali yang bekerja sama dengan kadernya.
Hari kedua melakukan observasi di daerah ini, tujuan kami selanjutnya adalah dusun pattemaran, meramba dan lambe panda. Disini akses ke dusun sangat sulit 3 kali melintasi sungai, naik turun gunung serta jalanan yang sangat tindak mendukung. Tanah liat bercampur dengan air hujan, namun tidak menghalangi niat kami untuk tetap sampai ke tiga dusun ini.
Observasi pertama kami lakukan di dusun meramba, masyarakat di dusun  ini masih sering mengeluhkan tentang penyakit gatal-gatal, fasilitas MCK masih sangat minim karena sebagaian masyarakat masih memanfaatkan “WC terpanjang didunia” untuk melakukan aktivitas sehari-harinya seperri BAB, mandi dan mencuci. Serta jarak kandang ternak yang masih banyak di bawah rumah warga.
Selanjutnya adalah dusun pattemaran, untuk sampai di dusun kami harus melintasi 1 sungai dan 1 pendakian terjal yang sukses membuat kami “mencium tanah air” . tapi perjalanan ini tidak sia-sia, kami berhasil melakukan observasi langsung dengan kepala dusun , menurut penuturan kepala dusun penyakit yang paling sering di derita masyarakat di dusun ini adalah gatal-gatal, gastritis dan diare, tidak ada posyandu serta persalinan yang masih di tolong oleh dukun, bahkan dirumah Ka. Dusun sekalipun kami tidak menemukan jamban , atau cubluk sederhana sekalipun.
Berbekal dari penuturan kepala dusun tersebut kami pun bergegas menuju kerumah dukun yang menolong persalinan yang akrab disapa “Kanne Poho”.  Dalam melakukan perolongan partus dukun ini hanya mengandalkan insting/perasaannya, tidak ada pemeriksaan dalam karena menurut beliau hal tersebut pamali untuk dilakukan, Bahkan bila ada komplikasi dukun tersebut masih melanjutkan pertolongan persalinan semampunya, beliau mengaku pernah berkolaborasi dengan bidan.
Dukun yang sudah bertahun-tahun menjadi “sando piana” ini  juga menggunakan peralatan Dukun Kit dalam melakukan pertolongan persalinan. Menurut beliau bahwa persalinan itu, adalah mekanisme ibu dan bayi itu sendiri untuk keluar.
“Kalau sakit 2 hari di bawa ke dukun saja…..
“di tiup-tiup”saja sama dukun, nanti juga sembuh..
Dari pada di bawa ke Bidan
Jauh…. “ ujar Ny.otong
Perjalanan kami lanjutkan ke dusun lambepanda, kami harus berjalan kaki, karena jalanan kedusun ini sangat bersiko untuk dilalui oleh kendaraan roda dua apalagi saat itu cuaca sangat tidak mendukung, gerimis menyambut kedatangan kami didusun lambe panda. Didusun yang berpenduduk sekitar 71 KK atau yang berpenghuni sekitar 315 orang ini kami mendapatkan masalah kesehatan yang lebih komplit, Wc jarang bahkan hampir tidak kami temukan karena semua masyarakat di dusun ini masih ke sungai untuk MCK, kandang ternak rata-rata masih di bawah kolong rumah warga, penyakit yang paling sering di keluhkan warga adalah gatal-gatal, diare dan reumatik. Bahkan pertolongan persalinan di dusun ini ditolong oleh laki-laki. Namun, saat kami kerumah pua’ ammang (dukun kampung) ini kami tidak bertemu, karena berhubung beliau sedang ke kebun untuk mencari makanan kambing yang beliau ternakkan di bawah kolong rumahnya,
Disini kami hanya berbicara dengan adik beliau, Ny. Otong, beliau mengeluhkan penyakit anaknya (An. Issabela, 2 thn) yang sudah lima hari belakangan demam, dan muncul bentol-bentol gatal di daerah kepala yang disertai dengahn pengeluaran nanah, imunisasi yang tidak lengkap, karena jarak antara rumah dan Pustu yang cukup jauh, terlebih dengan susahnya akses jalan. Beliau hanya mengandalkan obat tradisional yaitu menempelkan daun paria di daerah bentol-bentol anaknya dan “tiup-tiup dukun” .  selanjutnya beliau membawa kami ke dapur belakang rumahnya, disana iparnya (istri pua ammang) sedang terbaring lemah, katanya sudah sekitar 2 hari hanya bisa berbaring di rumah tanpa melakukan aktivtas apa-apa, saat kami bertanya “kenapa tidak dibawa ke Bidan untuk periksa?” Ny. Otong hanya menjawab Kalau sakit 2 hari di bawa ke dukun saja….. “di tiup-tiup”saja sama dukun, nanti juga sembuh. Dari pada di bawa ke Bidan Jauh…. “ ujar Ny.otong sambil melap dengan kain sarung nanah di kepala anaknya. Miris memang, sekalipun dusun ini sudah tersentuh oleh tenaga kesehatan masih saja kurangnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan, serta tidak mendukungnya medan untuk dilalui.
Hari ketiga observasi kami lanjutkan di dusun puttapi dan lagusi. Disini kami melihat permasalahan kesehatan yang lebih kompleks, bayangkan saja untuk dua dusun ini, pertolongan persalinannya hanya di tolong oleh dukun kampung laki-laki. Pria 50 tahun yang akrab di pua’ hawa (Tn. Keccung) mengaku selama 2 tahun terkahir ini menjadi “sando” tidak hanya menolong persalinan, pua’ hawa juga mengaku bisa mengobati masalah kesehatan lain, seperti diare, cacingan, gatal serta masalah kesehatan yang sering di keluhkan oleh masyarakat. Dengan cara memanfaatkan tanamam-tanaman dari hutan di tambah dengan “tiup-tiup” dari pua’ hawa.
Bahkan dalam melakukan praktek pertolongan persalinannya, pua’ hawa mengaku tidak pernah berkolaborasi dengan bidan atau tenaga kesehatan lain, saat ibu sudah merasakan sakit karena kontraksi pua’ hawa biasanya memberikan minyak kelapa yang khasiatnya katanya “supaya bayi cepat keluar”. Lebih parah lagi karena saat melakukan pemotongan tali pusat ia hanya menggunakan belati (bambu yang di iris tipis agar sudutnya tajam dan bisa memotong plasenta).
Selama 2 tahun menjadi dukun kampung, pua’ hawa mengatakan tidak pernah menemukan adanya komplikasi yang mengakibatkan bayi atau ibunya meninggal, apabila si ibu mengalami perdarahan, pua’ hawa hanya memberi air minum yang katanya sudah di jampi-jampi. Dan anehnya lagi, kata pua’ hawa rata-rata ibu hamil disini memeriksakan kandunganya kepada beliau.
Selanjutnya kami melakukan wawancara kepada masyarakat dusun lagusi, masyarakat disini mengaku rata-rata permasalahan kesehatan yang ada di daerah ini adalah diare, cacingan, dan gatal-gatal, rata-rata bayi merka jarang di imunisasi, di perparah lagi di sepanjang jalan yang kami lalui kami tidak menemukan ada WC/kakus. Hanya satu itu di depan rumah kepala dusun, yang belum layak di sebut WC, karena hanya cubluk sederhana. Di tambahi lagi dengan kondisinya dinding sengnya yang sudah rapuh, masyarkat mengaku untuk MCK mereka terbiasa melakukannya di sungai. Jarang ada sumur, bahkan mereka biasa mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari di sungai. Miris, padahal tenaga kesehatan di dusun ini sudah sering melakukan penyuluhan kepada masyarakat, kepala desa pun sudah sering menganjurkan masyarakatnya untuk membuat WC, minimal cubluk sederhana.
Dusun terakhir yang kami observasi adalah dusun puttapi, dusun yang terletak di atas puncak gunung ini, masih begitu asri. Tapi sayang rata-rata bayi di dusun ini menderita sesak nafas dan batuk-batuk, menurut analisis kami ini dikarenakan masih banyaknya kandang ternak di rumah warga. Di tambah lain yang memang sudah penyakit yang rata-rata oleh masyarakat dusun lain didaerah ini, yaitu diare dan gatal-gatal, jarangnya WC di daerah ini menurut kami adalah masalah utama penyakit tersebut.

Inilah hasil dari observasi yang kami lakukan,  menurt analisis dan kesimpulan yang dapat kami tarik dari permasalahan kesehatan dalam melakukan pembangunan kesehatan masyrakat desa & upaya primary helath care di desa Pussui Induk ini dapat di lakukan dengan cara :
1.     Untuk satu bidan satu desa, kami rasa itu belum bisa memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, di tambah lagi karena jarak antar dusun yang cukup jauh karena di pisahkan oleh gunung dan sungai.
2.    Penambahan mantri/perawat di harap bisa mengatasi permasalahan kesehatan ini. Minimal untuk melakukan pengobatan langsung kepada masyarakat.
3.    Peran aktif kader sangat di butuhkan, sebagai deteksi dini terhadap masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan sebagai penyuluh langsung kepada masyarakat.
4.    Kesadaran akan kesehatan oleh masyarakat itu sendiri, merupakan kunci utama peningkatan kesehatan, karena percuma melakukan penyuluhan-penyuluhan apabila masyarakatnya tidak secara sadar melakukan perubahan langsung terhadap dirinya,
5.    Peran pemerintah, agar bisa membuka akses kepada masyarakat di desa terpencil. Supaya mereka juga bisa merasakan hidup sehat dan terhindar dari penyakit.

Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu observasi desa yang kami lakukan.
Kelompok l


Juni, 2011


         


1 komentar: